Kebanyakn dari kita telah mengetahui bagaimana pesantren Sidogiri telah memulai menjadi leader dan dapat dikatakan sukses untuk menerapkan Sistem Ekonomi Islam melalui pembinaan sumberdaya manusia (dalah hal ini santri) yang serius dan berkelanjutan. Menurut Bakhri (2004:14) Gebrakan yang dilakukan pesantren Sidogiri ini bukannya tanpa alasan, melainkan karena keresahan dengan kondisi masyarakat yang mulai terjerat dengan praktek ekonomi ribawi dalam bentuk rentener yang sudah merambah sampai kedesa-desa Sidogiri.
Ditempat lain terdapat Pesantren Sunan Drajat di Paciran Lamongan, Sesuai dengan namanya, pesantren menerapkan ajaranajaran Sunan Drajat dalam sistem pendidikannya yakni melakukan syiar agama Islam sembari mengembangkan perekonomian masyarakat setempat. Pesantren-pesantren lain yang secara langsung berkutat dengan dunia perekonomian Masturiyah Jawa Barat, Pesantren Al-Quran Babussalam di kawasan Bandung Utara dan Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo.
Sejatinya pesantren tidak dapat dilepaskan dari dunia perekonomian. Disamping karena pesantren punya tanggungjawab pendidikan atas keholistikan Agama Islam, perekonomian yang dijalankan oleh pesantren juga untuk menopang kelangsungan hidup pesantren itu sendiri. Sehingga untuk menjadikan pesantren memiliki kekuatan secara finansial, tidak jarang pesantren yang merintis usaha-usaha baik skala kecil maupun besar. Lebih dari itu, pada era baru perekonomian dan semakin tingginya animo dunia pada Sistem Perekonomian Islam, pesantren harus mengedepankan diri sebagai salah satu penggiat perekonomian, khususnya implementasi Sistem Ekonomi Islam di Indonesia.
Pesantren harus menjadi motor penggerak utama guna kemajuan Sistem Ekonomi Islam tersebut. Dalam sistem ekonomi Islam, perilaku ekonomi manusia dibatai oleh nilai-nilai syariah yang mengatur bagaimana harus melakukan produki, konsumsi, dan distribusi pemerataan kekayaan. Kesejahteraan manusia diperhatikan melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekologis. ditetapkan atutan-aturan tertentu yang mengatur dan menentukan bentuk dan membatasi intensitas kegiatan-kegiatan manusia dalam memperoleh kekayaan. Hal ini begitu dibatasi sehingga serasi dengan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Maka dari itu, pada tahap manapun tidak ada kegiatan ekonomi yang bebas dari beban pertimbangan moral.
Dalam pandangan Hamdan Rasyid pada sebuah artikel yang berjudul peran pesantren dalam pengembangan ekonomi Islam mengatakan secara garis besar, peran strategis pesantren dalam ekonomi syariah ada dua: Pertama peran pengembangan keilmuan dan sosialisasi ekonomi syariah ke masyarakat. Hal ini karena pesantren diakui sebagai lembaga pengkaderan ulama dan dai yang legitimed di masyarakat. Ulama produk pesantren sangat berpotensi menjadi ulama ekonomi Islam yang sangat diperlukan sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berfungsi mengawasi dan menjaga aktivitas dan program LKS tersebut sesuai dengan syariah. Disamping itu mereka juga dapat berperan sebagai corong sosialisasi ekonomi syariah di masyarakat, karena mereka adalah panutan dan suara mereka lebih didengar daripada ulama dan dai produk lembaga non pesantren. Kelebihan lainnya mereka lebih menguasai fiqh muamalah, sehingga memiliki kemampuan untuk menjelaskan tentang ekonomi syari’ah kepada masyarakat dengan lebih baik. Kedua adalah peran mewujudkan laboratorium praktek riil teori ekonomi syariah dalam aktivitas ekonomi. peran ini juga sangat strategis, mengingat masyarakat melihat pesantren sebagai contoh dan teladan dalam aktivitas sehari-hari. Jika pesantren mengembangkan potensinya dalam ekonomi syariah dan berhasil tentu hal itu akan diikuti oleh masyarakat. Insya Allah mereka akan ramai-ramai melakukan migrasi dari sistem ekonomi kapitalis menuju ekonomi Islam yang terbebas dari riba, maysir, gharar, risywah, dlalim, jual beli barang haram dan berbagai bentuk kemaksiatan lainnya. Sebaliknya, jika pesantren pasif dan apatis tentu berpengaruh kepada masyarakat, apalagi jika mereka masih berinteraksi dengan ekonomi konvensional.
Saat memberikan kuliah umum di Kampus ITB Bandung pada 1977, Madjid (2013:186-187) memaparkan peran agama pada masyarakat industrial. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa motivasi terkuat sistem kerja dalam masyarakat industrial ialah peningkatan produksi dan keuntungan setinggi-tingginya. Namun persoalan yang kemudiaan muncul yakni adanya sistem kerja yang birokratis dengan hubungan kerja fungsiona. Tidak ada pandangan lagi secara personal. Akan tetapi manusia memerlukan sesuatu yang sekurang-kurangnya mempunyai efek pengereman kecenderungan dan sifat dasar masyarakat industrial tersebut. Manusia memerlukan sesuatu yang dapat secara pasti memberikan jawaban atas pertanyaan : apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia ini? Mungkin sesuatu ialah agama. Madjid menganggap pernyataan tersebut dengan sikap skeptisme yang didasari alasan adanya jurang lebar atau sempit antara ajaran dan kenyataan. Maka yang dimaksud agama oleh Madjid dalam hal ini ialah dalam bentuknya yang mendalam dan universal, bukan secara sosiologis.
Peranan agama yang pengajaran pendidikannya dinilai banyak orang “hanya” dipegang oleh pendidikan pesantren, menyebabkan peran penting pesantren dalam masyarakat industrialisasi. Jawaban atas problematika dalam masyarakat industri ada ketika peran agama dipahami secara mendalam. Madjid (2013 : 188) menyebutkannya dalam 5 poin :
- Kebutuhan atau kepercayaan kepada Tuhan dengan segala atributnya.
- Hubungan yang “personal” dan intim dengan tuhan
- Doktin tentang fungsi sosial harta kekayaan : tujuan hidup bukanlah pada terkumpulnya kekayaan itu, melainkan pada cara penggunaannya untuk sesama manusia
- Pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak dapat didekati secara empiris atau induktif, tetapi dengan cara deduktif atau “percaya”
- Kepercayaan akan adanya kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia) ini yang lebih tinggi nilainya
Maka dalam hal masyarakai industrialisasi atau dunia ekonomi, pesantren dipandang memiliki hubungan dan peranan sebagai penyelaras diri manusia dan perilaku ekonomi yang terjadi pada masyarakat agar memiliki pengereman dari bahaya hedonisme dan keduniawian, serta mengembalikan pengertian kepada manusia untuk memegang secara teguh agama sebagai pandangan yang haqiqi.